bombou.site – Pajak mobil listrik produksi lokal menjadi perhatian setelah pemerintah cabut insentif impor CBU untuk BYD, AION, dan pabrikan lain mulai 2026. Produsen wajib produksi CKD dengan TKDN 40-60 persen, tapi pajak apa saja yang dikenakan? Dari PPN hingga PPnBM, simak deretan beban fiskal yang memengaruhi harga EV ini. Apa implikasinya bagi konsumen? Berikut ulasan lengkapnya!
Latar Belakang Insentif dan Kewajiban Produksi
Saat ini, enam pabrikan—BYD, Xpeng, VinFast, Geely, Citroen, dan AION—nikmati pajak mobil listrik impor ringan: bea masuk 0% (dari 50%), PPnBM 0% (dari 15%), dan PPN 12%. Ini buat harga EV kompetitif, saingi mobil konvensional. Namun, insentif berakhir 31 Desember 2025, dengan komitmen produksi 1:1 kuota impor pada 2026-2027.
Produsen wajib bangun fasilitas manufaktur baterai roda empat, alih produksi dari ICE ke EV, atau tingkatkan kapasitas CKD. Bank garansi jadi jaminan; gagal produksi, pemerintah klaim dana ganti rugi pada 2028. Total investasi Rp 15,52 triliun janjikan 305.000 unit produksi lokal, dorong ekosistem EV berkelanjutan.
Yannes Pasaribu dari ITB apresiasi langkah ini, tapi ingatkan risiko harga naik 30-40 persen jika TKDN lambat. “Cabut pajak mobil listrik impor tepat, tapi butuh strategi holistik agar pasar tetap tumbuh,” ujarnya.
Pajak yang Dikenakan untuk Produksi Lokal
Setelah produksi di Indonesia, pajak mobil listrik fokus pada PPN dan PPnBM, karena bea masuk nol untuk barang lokal. Berikut rinciannya:
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Mobil listrik lokal seperti Hyundai, Wuling, Chery, dan Neta saat ini bayar PPN 2% berkat insentif DTP 10% dari 12%, sesuai PMK No. 12/2025. Ini berlaku hingga akhir 2025 untuk KBLBB roda empat tertentu.
Jika insentif lanjut 2026, BYD-AION dkk bayar PPN 2%. Tapi jika tak diperpanjang, PPN penuh 12% dikenakan, naikkan harga signifikan. Pelaporan SPT masa PPN realisasi hingga 31 Januari 2026. Konsumen akhir untung dari DTP, tapi produsen harus serap beban jika tak ada subsidi baru.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
PPnBM pajak mobil listrik nol persen, sesuai PP No. 73/2019 Pasal 36. Tarif dasar 15% dikalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) 0% untuk BEV, hasilkan 0%. Ini berlaku permanen untuk EV berbasis baterai, tak terpengaruh cabut insentif impor.
Pajak Lainnya
- Bea Masuk: 0% untuk produksi lokal (tidak impor).
- Pajak Bumi dan Bangunan (PBB): Berlaku untuk aset pabrik, tapi tak langsung ke konsumen.
- Pajak Penghasilan (PPh): Produsen bayar PPh badan 22%, tapi ini biaya operasional, bukan pajak penjualan.
Tanpa insentif baru, harga EV naik karena PPN penuh, tapi PPnBM tetap nol bantu jaga daya saing.
Implikasi bagi BYD, AION, dan Konsumen
BYD rencana bangun pabrik di Subang, Jawa Barat, kapasitas 150.000 unit/tahun, mulai produksi 2026. AION (GAC) dan Geely ikuti, dengan TKDN bertahap 40% (2022-2026) ke 60% (2027+). VinFast dan Xpeng juga komit investasi Rp 15,52 triliun gabungan.
Konsumen hadapi harga lebih tinggi jika PPN 12%, tapi produksi lokal tekan biaya jangka panjang via TKDN. Pemerintah harap ini capai 2 juta EV 2030, kurangi emisi.
Saran untuk Kebijakan Masa Depan
Yannes sarankan strategi holistik: subsidi rantai pasok baterai, edukasi konsumen, dan infrastruktur charging. “Dalam 5-7 tahun, Indonesia bisa ekspor komponen EV,” tambahnya. Pantau PMK baru untuk konfirmasi insentif PPN 2026.
Pajak mobil listrik lokal jadi kunci transisi EV. Dengan produksi BYD-AION, pasar Indonesia siap matang—tapi butuh dukungan pemerintah agar harga tetap terjangkau