bombou.site – Insentif mobil listrik impor akan berakhir pada akhir 2025, memicu diskusi tentang langkah pemerintah selanjutnya. Pengamat otomotif senior dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, mendesak pembuatan kebijakan baru untuk menjaga momentum pasar kendaraan listrik di Indonesia. Tanpa strategi lanjutan, penjualan bisa turun drastis. Apa risiko dan solusinya? Simak ulasan lengkapnya!
Alasan Cabut Insentif Mobil Listrik
Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memutuskan tidak memperpanjang insentif mobil listrik impor utuh (CBU) mulai 2026. Saat ini, enam perusahaan seperti BYD, AION, VinFast, Geely, Citroen, GWM, dan Xpeng menikmati pembebasan bea masuk 50 persen, PPnBM, dan PPN. Insentif ini berlaku hingga Desember 2025, dengan syarat produksi lokal 1:1 terhadap impor.
Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan ini dorong investasi lokal senilai Rp 15,52 triliun dan kapasitas produksi 305.000 unit. Mulai Januari 2026 hingga Desember 2027, produsen wajib produksi CKD (Completely Knocked Down) dengan TKDN bertahap dari 40 persen ke 60 persen. Gagal memenuhi, bank garansi hangus sebagai ganti rugi.
Yannes Pasaribu mengapresiasi langkah ini sebagai sinyal serius membangun ekosistem EV berkelanjutan. “Cabut insentif mobil listrik impor diperlukan untuk industrialisasi dan hindari ketergantungan impor jangka panjang,” ujarnya kepada detikOto. Ini paksa produsen buktikan komitmen, bukan sekadar jualan sementara.
Risiko Penurunan Pasar EV
Meski tepat, cabut insentif mobil listrik berpotensi jadi bumerang. Yannes memprediksi harga BEV naik 30-40 persen akibat pajak impor dan PPnBM normal, yang bisa stagnasi pasar dan counterproductive bagi transisi energi bersih. “Jika produsen tak siap CKD dengan TKDN, harga melonjak tanpa solusi penekanan biaya,” tambahnya.
Saat ini, impor CBU dorong penjualan EV mencapai ribuan unit. Tanpa insentif, konsumen beralih ke ICE (Internal Combustion Engine), hambat target 2 juta unit EV pada 2030. Yannes tekankan, transisi CKD harus cepat agar harga tetap kompetitif, karena TKDN rendah hanya andalkan komponen sederhana, sisanya impor.
Saran Kebijakan Baru dari Yannes
Yannes minta pemerintah ganti insentif mobil listrik impor dengan strategi holistik. “Bukan sekadar cabut, tapi pastikan pasar tumbuh sambil kuatkan industri dalam negeri,” katanya. Sarannya termasuk:
- Dorong percepatan CKD dengan insentif TKDN tinggi untuk baterai dan motor listrik.
- Subsidi rantai pasok lokal, seperti litium dan nikel, untuk tekan biaya produksi.
- Program edukasi konsumen dan infrastruktur charging untuk tingkatkan adopsi EV.
Dengan strategi tepat, dalam 5-7 tahun Indonesia bisa jadi hub ekspor komponen EV ke ASEAN. “Kita tak hanya jual BEV, tapi ekspor teknologi,” ujar Yannes. Ini selaras dengan rencana Kemenperin bangun ekosistem lengkap, dari hulu ke hilir.
Dampak bagi Produsen dan Konsumen
Cabut insentif mobil listrik tekan produsen impor. BYD dan VinFast harus percepat pabrik lokal, sementara Hyundai dan Wuling yang sudah CKD untungkan. Bank garansi jadi pengaman, cair jika gagal produksi. Konsumen hadapi harga naik, tapi potensi CKD tekan biaya jangka panjang.
Menurut Direktur Jenderal ILMATE Kemenperin, Setia Diarta, kebijakan ini dorong pabrikan bangun fasilitas cepat. Total investasi enam perusahaan capai Rp 15,52 triliun, janjikan lapangan kerja ribuan.
Menuju Ekosistem EV Berkelanjutan
Cabut insentif mobil listrik impor jadi momentum transisi. Dengan kebijakan baru, Indonesia bisa capai target EV 400.000 unit 2025. Pantau perkembangan Kemenperin untuk update strategi. Dukung EV lokal untuk masa depan hijau!